PENYUSUNAN,
STRUKTUR, DAN ANATOMI KONTRAK
A. PEMBAHASAN
Sekilas, bila kita mendengar
kata kontrak, kita langsung berpikir bahwa yang dimaksudkan adalah suatu
perjanjian tertulis. Artinya, kontrak sudah dianggap sebagai suatu pengertian
yang lebih sempit dari perjanjian. Dan bila melihat berbagai tulisan, baik
buku, makalah atau tulisan ilmiah lainnya, kesan ini tidaklah salah, sebab
penekanan kontrak selalu dianggap sebagai medianya suatu perjanjian yang dibuat
secara tertulis.
Tidak ada ketentuan undang-undang yang mengatur tentang format kontrak maka dalam membuat kontrak, hal yang paling penting diperhatikan oleh para pihak adalah syarat ahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 BW, yang pada intinya mengatur tentang:
1. Kesepakatan
para pihak
2. Kecakapan
(termasuk juga kewenangan) para pihak
3. Objek
tertentu
4. Sebab
yang halal.
B. PRAPENYUSUNAN
KONTRAK
Sebelum kontrak disusun, ada empat hal yang harus
diperhatikan oleh para pihak, antara lain:
1. Identifikasi
para pihak
Para pihak dalam kontrak harus
teridentifikasi secara jelas, yang harus diperhatikan oleh para pihak yang akan
mengadakan dan membuat yaitu Kemampuan Para Pihak, yaitu kecakapan dan
kemampuan para pihak untuk mengadakan dan membuat kontrak. Di dalam KUHPerdata
ditentukan bahwa orang yang cakap dan wenang untuk melakukan perbuatan hukum
apabila telah dewasa dan atau sudah kawin. Ukuran kedewasaan, yaitu berumur 21
tahun. Sedangkan orang-orang yang tidak wenang untuk membuat kontrak adalah:
a. Minderjarigheid (di
bawah umur);
b. Curatele (di
bawah pengampunan);
c. Istri
(pasal 1330 KUH Perdata). Istri kini wenang untuk membuat kontrak (SEMA No 3
1963; Pasal 31 UU No 1 1974 tentang Perkawinan).
Pencamtuman para pihak harus
jelas dicamtumkan sesuai dengan identitas dilandaskan dengan KTP jika kontrak tersebut
memuat 2 perusahaan maka harus melihat legalitas perusahaan tersebut melihat
kepada Akta Perusahaan, Anggaran Dasar, Tanda Daftar Domisili, dan NPWP
perusahaan. Kemudian mencamtumkan naman yang mewakili perusahaan seperti
direktur, biasanya jika penandatangan diwakili oleh jenjang jabatan yang
berwenang diharuskan memakai Surat Kuasa dari perusahaan.
2. Perpajakan
Para pihak membuat kontrak
menginginkan perjanjian dirumuskan sedemikian rupa untuk memperkecil pajak,
karena transaksi bisnis merupakan transaksi kena pajak. Hal ini sebenarnya
harus dihindari oleh ahli hukum. Oleh karena itu, ahli hukum perancang kontrak
harus memahami masalah perpajakan dan jika mungkin bekerja sama dengan
konsultan pajak. Sebagai contoh jika dalam kontrak terdapat ketentuan sewa menurut
ketentuan.
3. Atas
hak yang sah
Untuk perjanjian jual beli, calon pembeli harus
mengetahui bahwa penjual mempunyai alas hak yang sah atas barang yang dijual.
Dalam hal barang bergerak tidak atas nama berlaku ketentuan Pasal 1977 KUHPerdata yang menetapkan bahwa
barangsiapa menguasai barang bergerak yang tidak berupa bunga atau piutang yang
tidak harus dibayar atas tunjuk, dianggap sebagai pemilik sepenuhnya.
Namun demikian dalam hal ini
berlaku asas revindikasi, yaitu apabila barang itu hilang atau hasil curian,
pemilik barang dapat menuntut supaya barang itu dikembalikan kepadanya. Memang
dalam hal ini pembeli yang beritikad baik akan tetap dilindungi, yaitu minta
ganti rugi atas harga pembelian barang tersebut. Proses akan lebih sulit jika
pencuri sudah tidak mampu mengembalikan uang pembelian.
Dalam hal barang bergerak
atas nama dan barang tidak bergerak, yang dianggap paling berhak adalah orang
yang namanya tercantum dalam surat itu. Namun demikian, dalam hal barang
bergerak atas nama maupun barang tidak bergerak merupakan harta bersama dalam
perkawinan, perlu ada suatu counter sign dari
suamu/itri. Counter sign juga diperlukan dalam hal perjanjian
jaminan.
4. Masalah
keagrariaan
Perancang perjanjian juga
harus memperhatikan masalah seputar Hukum Agraria. Dalam banyak hal para pihak
tidak memahami masalah-masalah keagrariaan. Oleh karena itu, para ahli hukum
harus memberitahukan kepada kliennya mengenai hal tersebut. Pilihan
hukum, yaitu berkaitan dengan hukum manakah yang akan digunakan dalam
pembuatan kontrak tersebut.
5. Penyelesaian
sengketa
Perjanjian tidak selalu
dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, dalam setiap
perjanjian perlu dimasukkkan klausula mengenai penyelesaian sengketa apabila
sala satu pihak tidak memenuhi perjanjian atau wanprestasi. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara damai,
arbitrase, atau mungkin melalui pengadilan. Dalam hal sengketa diselesaikan
melalui pengadilan perlu diingat Hukum Acara Perdata Indonesia mengenai
kompetensi dan yuridiksi pengadilan
negeri tersebut.
6. Berakhirnya Kontrak
Pengenyampingan pasal 1266 KUHPerdata dan Pasal 1267 KUHPerdata dengan alasan agar dalam hal terjadinya wanprestasi atau tidak terpenuhinya isi perjanjian oleh salah satu pihak, dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Pembatalan suatu perjanjian tidak perlu melalui proses permohonan batal ke pengadilan melainkan dapat hanya berdasarkan kesepakatan para pihak itu sendiri (Pasal 1266);
b. Pihak yang tidak dipenuhi perikatannya dapat memaksa pihak yang lain untuk memenuhi isi perjanjian atau menuntut pembatalan perjanjian tersebut ke pengadilan dengan membebankan penggantian biaya, kerugian dan bunga (Pasal 1267).
Akibat hukum dari
dikesampingkannya pasal-pasal tersebut, Akibat hukum dari
dikesampingkannya pasal-pasal tersebut, pembatalan perjanjian tidak
mengembalikan ke keadaan semula, melainkan hanya membatalkan perikatan dan
perjanjian antar-para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian. Terkait
dengan kepentingan pihak ketiga yang terbit akibat dari perjanjian tersebut
tetap harus ditanggung oleh para pihak.
7. Bentuk Standar Kontrak
Standar kontrak merupakan
perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir.
Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan bahwa standar kontrak merupakan
perjanjian yang telah dibakukan (Mariam Darus Badrulzaman, 1980: 4).
Selanjutnya Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan ciri-ciri perjanjian baku
adalah sebagai berikut:
a. Isinya
ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat;
b. Masyarakat
(debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian;
c. Terdorong
oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian itu;
d. Bentuk
tertentu (tertulis);
e. Dipersiapkan
secara missal dan kolektif.
Perjanjian baku menjadi empat jenis, yaitu:
a. Perjanjian
baku sepihak, yaitu perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat
kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini adalah pihak
kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat ibandingkan pihak
debitur;
b. Perjanjian
baku timbale balik, yaitu perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua
belah pihak, misalnya perjanjian baku yang terdiri dari pihak majikan
(kreditur) dan pihak buruh (debitur). Kedua pihak lazimnya terkait dalam
organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif;
c. Perjanjian
baku yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu perjanjian baku tertentu, misalnya
perjanjian-perjanjian yang mempunyai objek hak-hak atas tanah;
d. Perjanjian
baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat, yaitu
perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk
memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan notaris atau
advokat yang bersangkutan.
8. Penelitian
Awal Aspek Terkait
Penyusunan kontrak harus
menjelaskan hal-hal yang tertuang dalam kontrak yang bersangkutan, konsekuensi yuridis, serta alternatif
lain yang mungkin dapat dilakukan. Pada akhinya penyusun kontrak menyimpulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak,
memperhatikan hal terkait dengan isi kontrak, seperti unsur pembayaran, ganti
rugi, serta perpajakan.
Penguasaan materi kontrak
hanya akan dapat diketahui setelah diketahui objek perjanjian dan syarat atau
ketentuan yang disepakati para pihak. Objek kontrak di sini tidak lain adalah
jenis perikatan yang akan dilakukan, artinya apabila ingin membuat suatu
kontrak, terlebih dahulu harus mengetahui kontrak apa yang akan dibuat. Sedangkan
syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan yang lazim disepakati oleh para pihak
dalam suatu kontrak antara lain:
a.
Besarnya harga jual beli atau harga
sewa-menyewa atau plafond kredit atau plafond leasing atau besarnya plafond
modal ventura yang disepakati;
b.
Objek atau barang yang dihibahkan, objek atau
merek dagang yang akan di-franchise-kan;
c.
Besarnya suku bunga kredit atau suku bunga
leasing, atau besarnya suku bunga/bagi hasil modal ventura;
d.
Jangka waktu perjanjian;
e.
Cara-cara pembayaran;
f.
Besarnya agunan;
g.
Biaya yang harus dibayar para pihak yang
berkontrak;
h.
Kewajiban untuk menutup asuransi bagi para
pihak atau satu pihak saja yang berkontrak.
9. Pembuatan
Nota Kesepahaman / Memorandum of Understanding (MOU)
Pada hakikatnya MOU
merupakan suatu perjanjian pendahuluan dalam arti akan diikuti perjanjian
lainnya. Dalam prospeknya belum jelas untuk menghindari kesulitan pembatalan
dibuat MOU yang relatif mudah dibatalkan. Dalam penandatanganan kontrak
memerlukan waktu yang lama, sehingga dibuat MOU yang akan berlaku sementara
waktu. Adanya keraguan para pihak dan memerlukan waktu untuk berpikir jika
menandatangani kontrak maka untuk sementara waktu dibuat MOU. MoU sendiri
dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Isinya
singkat berupa hal pokok.
b. Merupakan
pendahuluan, yang akan diikuti suatu kontrak permanent.
c. Jangka
waktunya terbatas.
d. Biasanya
tidak dibuat secara formal serta tidak ada kewajiban memaksa untuk adanya
kontrak terperinci.
e. Meskipun
MOU diakui banyak manfaatnya, tetapi banyak pihak meragukan berlakunya secara
yuridis.
10. Negosiasi
Merupakan sarana bagi para
pihak untuk mengadakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai
kesepakatan sebagai akibat adanya perbedaan pandangan terhadap sesuatu hal dan
dilatarabelakangi oleh kesamaan/ketidaksamaan kepentingan di antara mereka.
Agar negosiasi bisnis
berjalan dengan baik, maka yang mesti hadir di meja negosiasi adalah mereka
yang menguasai seluk beluk bisnis
plus lawyer. Mereka yang mewakili kepentingan bisnis akan melihat dari aspek
bisnisnya, sementara lawyer akan melihat dari aspek hukum dan formulasinya ke dalam draft kontrak.
Untuk itu kepada lawyer sendiri dituntut untuk tidak hanya menguasai ilmu hukum
kontrak, tetapi juga menguasai dasar-dasar bisnis yang dinegosiasinya. Di
samping itu, jika salah satu pihak merupakan pihak asing, lawyernya juga
dituntut untuk bisa berbahasa Inggris secara sempurna.
A.
Jenis-jenis negosiasi:
1.
Position bargainer (lunak), banyak
dilakukan di lingkungan keluarga, antara sahabat, dan lain-lain. Tujuannya
adalah untuk membina hubungan baik (culitivating). Kelebihan corak ini sepat
menghasilkan kesepakatan, namun mengandung risiko, yakni memungkinkan pola
menang-kalah (win-lose);
2.
Hard position bargainer (keras), sangat
mungkin menemui kebuntuan/deadlock akiobat adanya tekanan, serta ancaman,
terutama jika terbentur pada situasi saat bertemu perunding keras seama
perunding keras lainnya;
3.
Principled negotiation/interest based
negotiation, perpaduan yang menekankan pada pentingnya pemisahan antara orang
dan masalah, memfokuskan serangan pada permasalahan, dan bukan pada orang serta
mengandalkan adanya criteria objektif, eperti scientific judgement, peraturan
perundang-undangan, dan nilai pasar. Menganut pola win-win.
B.
Tahapan negosiasi:
1. Tahap
Persiapan:
a) Menguasai
konsep/rancangan kontrak bisnis secara komprehensif dan rinci
b) Menguasai
pengetahuan tentang industri dari apa yang diperjanjikan
c) Menguasai
peratuaran perundang-undangan yang melingkupi apa yang diperjanjikan
d) Memahami
betul apa yang diinginkan oleh pihak yang diwakili dan posisinya
e) Mengidentifikasi
poin-poin yang berpotensi menjadi masalah atau dipermasalahkan
f) Mengantisipasi
solusi apa dari poin-poin yang berpotensi menjadi masalah dan dipermasalahkan
serta mendiskusikan solusi tersebut terlebih dahulu dengan pihak yang diwakili
g) Menumbuhkan
percaya diri
h) Sedapat
mungkin meminta counterpart agar negosiasi dilakukan di kantor atau
di tempat yang dipilih negosiator (hikmahanoto juwana, tt: 1-3)
2. Tahap
pelaksanaan:
a) Sedapat
mungkin memimpin negosiasi
b) Mengetahui
betul siapa yang dihadapi dan mengukur kekuatan dengan menanyakan berbagai hal
c) Menetapkan
apa saja yang hendak dicapai dalam negosiasi meminta pihak counterpart untuk memberitahukan
lebih dahulu apa yang menjadi keinginannya. Sedapat mungkin dimulai dari awal
konsep/rancangan kontrak bisnis. Setelah itu baru kemukakan apa yang menjadi
keinginan negosiator. Tindakan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi poin-poin
dalam kontrak bisnis di mana para pihak berbeda pandangan. Di samping itu hal
ini dimaksudkan juga untuk bargaining chipsdalam proses negosiasi
selanjutnya
d) Menyelesaikan
poin-poin yang mudah intik diselesaikan terlebih dahulu atau menunda (pending)
hal-hal yang rumit untuk diselesaikan
e) Memberikan
argumentasi yang logis serta analogi untuk menjelaskan posisipandangan
f) Mempermainkan
emosi: kapan emosi harus mninggi dan kapan harus meresa. Cairkan situasi
apabila menjadi tegang, misalnya dengan membuat lelucon atau keluar ruangan
negosiasi
g) Apabila
terdapat poin yang tidak terselesaikan, jangn terburu-buru dan terjebak untuk
iselesaikan
h) Tidak
mengambil keputusan terhadap poin yang perlu mendapat arahan dari pihak yang
diwakili sebelum melakukan konsultasi
i) Apabila
ada waktu, jangan menyelesaikan negosiasi dalam satu kali pertemuan
j) Catat
semua hal yang disepakati dan tuangkan dalam kontrak bisnis
dengan mark-up.
C. TAHAP
PENYUSUNAN KONTRAK
Ada lima tahap dalam penyusunan kontrak di Indonesia,
yaitu:
1. Pembuatan
draft pertama yang meliputi:
a. Judul
kontrak
Walaupun judul tidak
merupakan syarat sahnya kontrak atau dengan kata lain tidak mempengaruhi
keabsahan suatu kontrak, namun demikian sebagai identitas suatu kontrak, judul
adalah mutlak adanya. Dengan demikian, setiap orang akan dengan mudah
mengetahui jenis kontrak apa yang sedang mereka baca/lihat. Walaupun pemberian
judul atas suatu kontrak merupakan kebebasan bagi para pihak, namun bagi
perancang atau pembuat kontrak seyogianya memiliki kemampuan untuk membuat
suatu judul kontrak yang dibuatnya. Artinya, antara judul dengan isi kontrak
harus ada korelasi dan relevansinya. Dalam kontrak harus diperhatikan
kesesuaian isi dengan judul serta ketentuan hukum yang mengaturnya, sehingga
kemungkinan adanya kesalahpahaman dapat dihindari.
b. Pembukaan
Berisi tempat dan waktu pembuatan kontrak
c. Pihak-pihak
dalam kontrak
Para pihak yang dimaksudkan
di sini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kontrak, baik kontrak
perorangan maupun kontrak yang bersifat publik. Para pihak tersebut oleh hukum
lazimnya dibagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu:
1) Perorangan
2) badan
usaha: badan usaha berbadan hukum/ badan
usaha bukan badan hukum
d. Recital
Recital adalah penjelasan
resmi atau merupakan latar belakang atas suatu keadaan dalam suatu
perjanjian/kontrak untuk menjelaskan mengapa terjadi perikatan. Dalam recital
biasanya juga dicantumkan tentang sebab (consideration) masing-masing pihak,
hal ini berguna karena merupakan salah satu syarat sahnya suatu perjanjian.
Dalam hal tidak ada yang
perlu dijelaskan, maka recital tidak mutlak harus ada dalam suatu
perjanjian/kontrak. Suatu perjanjian yang merupakan novasi kiranya dalam
recital-nya perlu dituangkan tentang perikatan lama yang digantikan oleh
perikatan baru, karena bila perikatan lamanya tidak dijelaskan, maka tidaklah
teerjadi novasi ((Hardijan Rusli).
e. Isi
Kontrak
Dalam suatu kontrak, hampir
pasti kita selalu menemukan kata “pasal”. Secara sederhana dapat digambarkan
bahwa pasal adalah bagian dari suatu kontrak yang terdiri dari kalimat atau
sejumlah kalimat yang menggambarkan kondisi dan informasi tentang apa yang
disepakati, baik secara tersurat maupun tersirat.
Untuk mengoptimalkan
fungsinya dalam suatu kontrak maka pasal-pasal tersebut harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1) urutan,
artinya oleh karena pasal-pasal tersebut mencerminkan isi dan kondisi
kesepakatan, maka ia harus dibuat secara kronologis sehingga memudahkan
menemukan dan mengetahui hal-hal yang diatur oleh masing-masing pasal;
2) ketegasan,
artinya bahasa yang digunakan sedapat mungkin menghindari kata-kata bersayan
(ambigu) yang dapat menimbulkan berbagai interpretasi. Bunyi pasal tersebut harus
tegas dan tidak mengambang;
3) keterpaduan, artinya antara satu ayat dengan
ayat yang lain atau antara satu kalimat dengan kalimat yang lain dalam suatu
pasal harus ada keterpaduan, mempunyai hubungan satu sama lain;
4) kesatuan, artinya satu pasal mencerminkan satu
kondisi, namun demikian antara satu pasal dengan pasal yang lain saling
mendukung;
5) kelengkapan,
artinya oleh karena satu pasal harus mncerminkan satu kondisi, maka pasal-pasal
dalam suatu kontrak juga harus lengkap informasinya.
f. Penutup
Setidaknya ada empat hal
yang perlu diingat pada bagian ini, yaitu:
1) sebagai
suatu penekanan bahwa kontrak ini adalah alat bukti
2) sebagai
bagian yang menyebutkan tempat pembuatan dan penandatanganan
3) sebagai
ruang untuk menyebutkan saksi-saksi dalam kontrak
4) sebagai
ruang untuk menempatkan tanda tangan para pihak yang berkontrak.
g. Lampiran-lampiran
(jika ada)
Yang perlu diketahui
mengenai lampiran ini antara lain:
1) tidak
semua atau tidak selalu kontrak memiliki lampiran
2) diperlukannya
lampiran dalam kontrak, adalah karena terdapat bagian-bagian yang memerlukan
penjelasan yang apabila dimasukkan dalam kontrak akan sengat panjang, atau
memuat gambar, peta dan penjelasan lainnya
3) lampiran
merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan dengan perjanjian yang
melampirkannya.
4) lampiran bukanlah perubahan salah satu atau
beberapa pasal/isi kontrak yang telah ditandatangani
2. Saling
menukar draft kontrak (review)
3. Jika
perlu diadakan revisi
4. Dilakukan
penyelesaian akhir
5. Penutup
dengan penandatanganan kontrak oleh masing-masing pihak
D. STRUKTUR
DAN ANATOMI KONTRAK
Salah satu unsur yang paling
penting dalam merancang kontrak, yaitu perancang harus memperhatikan struktur
dan anatomi kontrak yang dibuat atau yang dirancang. Struktur kontrak adalah
susunan dari kontrak yang akan dibuat atau dirancang. Adapub anatomi kontrak
berkaitan dengan letak dan hubungan antara bagian-bagian yang satu dengan
bagian yang lainnya.
Para ahli berbeda pandangan
tentang hal-hal apa saja yang menjadi struktur dan anatomi kontrak. Charles R.
Calleros mengemukakan struktur dan anatomi kontrak, yaitu:
1.
An introduction identifying the parties to
the transaction (identifikasi para pihak yang mengadakan transaksi)
2.
A section describing the rights and
obligations of the parties (deskripsi tentang hak dan kewajiban para pihak
3.
Signature lines showing the parties’ agreement
to the terms of contract (tanda tangan para pihak yang mengadakan kontrak)
4.
Statement of recital, which describes the
background of the transaction and the parties’ reason for entering into the
contract (recital), yaitu latar belakang dibuatnya kontrak
5.
A glossary of defined terms, yaitu definisi
atau pengertian
6.
A section of miscellaneous provisions
addressing such topics as termination of the contract on the other transaction,
yaitu syarat-syarat penghentian/berakhirnya kontrak pada transaksi lainnya.
(Charles R. Callerous. Tt: 440)
Scott J. Burnham,
mengemukakan bahwa setiap kontrak dibangun dengan kerangka sebagai berikut:
1.
Decription of instrument (bagian pembuka)
2.
Caption (identitas para pihak)
3.
Transition (transisi/peralihan)
4.
Recital (latar belakang)
5.
Definition ( definisi)
6.
Operative language (klausul transaksi)
7.
Closing (penutup). (scott j. Burnham, tt:
175)
Ray wijaya mengemukakan
bahwa ada tujuh anatomi kontrak/akta, yaitu:
1.
Judul (heading)
2.
Pembukaan
3.
Komparasi
4.
Premis (recital)
5.
Isi perjanjian
6.
Penutup (clocure/closing)
7.
Tanda tangan (attestation)
Sutarno juga mengemukakan
struktur dan anatomi kontrak, khususnya perjanjian kredit, yaitu:
1.
Judul
2.
Kepala
3.
Komparisi
4.
Konsiderans atau pertimbangan
5.
Definisi
6.
Isi pokok (substansi perjanjian
7.
Bagian penutup
Hikmahanto Juwana
mengemukakan bahwa ada tiga bagian utama dari kontrak, khususnya kontrak
bisnis, yaitu (1) bagian pendahuluan, (2) isi, (3) penutup.
1.
Bagian pendahuluan dibagi menjadi tiga
subbagian, sebagai berikut:
a)
Subbagian pembuka (description of the instrument). Subbagian
ini memuat tiga hal berikut, yaitu:
1)
Sebutan atau nama kontrak dan penyebutan
selanjutnya (penyingkatan) yang dilakukan
2)
Tanggal dari kontrak yang dibuat dan
ditandatangani
3)
Tempat dibuat dan ditandatanginya kontrak
1.2 Subbagian
pencantuman identitas para pihak. Dalam subbagian ini dicantumkan identitas
para pihak yang mengikatkan diri dalam kontrak dan siapa-siapa yang
menandatangani kontrak tersebut. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan tentang
identitas para pihak, yaitu:
a)
Para pihak harus disebutkan secara jelas
b)
Orang yang menandatangani harus disebutkan
kapasitasnya sebagai apa
c)
Pendefinisian pihak-pihak yang terlibat dalam
kontrak
1.3 Subbagian
penjelasan. Pada subbagian ini diberikan alasan/penjelasan mengapa para
pihak mengadakan kontrak (sering disebut bagian premis, witnesseth, whereby,
recital, menerangkan lebih dahulu, dan lain-lain).
2.
Ada empat hal yang tercantum dalam bagian
isi, sebagai berikut:
a) Klausul
definisi (definition)
Dalam klausul ini biasanya mencantumkan
berbagai definisi untuk keperluan kontrak. Definisi ini hanya berlaku pada
kontrak tersebut dan dapat mempunyai arti khusus dari pengertian umum. Klausul
definisi pentig dalam rangka mengefisienkan klausul-klausul selanjutnya karena
tidak perlu diadakan pengulangan.
b) Klausul
transaksi (operative language)
Klausul-klausul yang berisi tentang transaksi
yang akan dilakukan. Misalnya, dalam jual beli aset, harus diatur tentang objek
yang akan dibeli dan pembayarannya. Demikian pula dengan suatu kontrak
patungan, perlu diatur tentang kesepakatan para pihak dalam kontrak tersebut.
c) Klausul
spesifik
Mengatur hal-hal yang spesifik dalam suatu
transaksi. Artinya klausul tersebut tidak terdapat dalam kontrak dengan
transaksi yang berbeda.
d) Klausula
ketentuan umum
Klausul yang sering kali dijumpai dalam
berbagai kontrak dagang maupun kontrak lainnya. Klausula ini antara lain
mengatur tentang domisili hukum, penyelesaian sengketa, pilihan hukum,
pemberitahuan, keseluruhan dari perjanjian, dan lain-lain.
3.
Ada dua hal yang tercantum pada bagian
penutup, yaitu:
3.1 Subbagian
kata penutup (closing). Kata penutup biasanya menerangkan bahwa perjanjian
tersebut dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang memiliki kapasitas
untuk itu atau para pihak menyatakan ulang bahwa mereka akan terikat dengan isi
kontrak
3.2 Subbagian
ruang penempatan tanda tangan adalah tempat pihak-pihak menandatangani
perjanjian atau kontrak dengan menyebutkan nama pihak yang terlibat dalam
kontrak, nama jelas orang yang menandatangani dan jabatan dari orang yang
menandatangani.
Berdasarkan hasil analisis
terhadap berbagai kontrak yang berdimensi nasional, maka kita dapat memilah
struktur kontrak menjadi 12 (dua belas) hal pokok. Kedua belas hal itu
meliputi:
1.
Judul kontrak
2.
Pembukaan kontrak
3.
Komparisi
4.
Resital (konsiderans atau pertimbangan)
5.
Definisi
6.
Pengaturan hak dan kewajiban (substansi
kontrak)
7.
Domisili
8.
Keadaan memaksa (force majeure)
9.
Kelalaian dan pengakhiran kontrak
10. Pola penyelesaian kontrak
11. Pola
penyelesaian sengketa
12. Penutup
dan tanda tangan
E.
PASCA PENYUSUNAN KONTRAK
Apabila
kontrak telah dibuat dan ditandatangani oleh para pihak, maka ada dua hal yang
harus diperhatikan oleh para pihak, yaitu sebagai berikut:
1. Pelaksanaan
dan penafsiran
Setelah suatu kontrak disusun barulah dapat
dilaksanakan. Kadang-kadang kontrak yang telah disusun tidak jelas/tidak
lengkap sehingga masih diperlukan adanya penafsiran. Berkaitan dengan hal
tersebut, undang-undang telah menentukan sejauh mana penafsiran dapat
dilaksanakan dengan memperhatikan hal berikut ini:
a) Kata-kata
yang dipergunakan dalam kontrak
b) Keadaan
dan tempat dibuatnya kontrak
c) Maksud
para pihak
d) Sifat
kontrak yang bersangkutan
e) Kebiasaan
setempat
2. Alternatif
penyelesaian sengketa
Dalam pelaksanaan kontrak mungkin terdapat sengketa. Para
pihak bebas menentukan cara yang akan ditempuh jika timbul sengketa di kemudian
hari. Biasanya penyelesaian sengketa diatur secara tegas dalam kontrak. Para
pihak dapat memilih lewat pengadilan atau di luar pengadilan. Setiap cara yang
dipilih mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing yang harus
dipertimbangkan sebelum memilih cara yang dianggap cocok untuk diterapkan. Jika
memilih lewat pengadilan, apakah pengadilan berwenang menyelesaikan sengketa
tersebut, kemungkinan dapat dilaksanakannya secara penuh, juga waktu dan biaya
yang diperlukan selama proses pengadilan.