Aliran-Aliran Pemikiran dalam kriminologi
Aliran pemikiran adalah cara pandang
kerangka acuan, paradigma, perspektif yang digunakan oleh para kriminolog
dalam melihat, menafsirkan, menanggapi dan menjelaskan fenomena kejahatan.
Secara umum ada tiga aliran pemikiran
yaitu aliran pemikiran klasik, positive dan kritis.
1. Kriminologi Klasik
Aliran pemikiran ini mendasarkan pada
pandangan bahwa intelegensi dan rasionalitas merupakan ciri fundamental manusia
dan menjadi dasar bagi penjelasan perilaku manusia, baik yang bersifat
perorangan maupun yang bersifat kelompok. Intelegensi membuat manusia
mampu mengarahkan dirinya sendiri, dalam arti dia adalah penguasa dari
nasibnya, pemimpin dari jiwanya, makhluk yang mampu memahami dirinya dan
berindak untuk mencapai kepentingan dan kehendaknya.
Ada beberapa pemikiran dalam aliran klasik:
- Individu dilahirkan karena kehendak bebas untuk menentukan pilihannya sendiri.
- Individu memiliki hak untuk hidup, kebebasan dan memiliki kekayaan dan pemerintah dibentuk untuk melindungi hak-hak tersebut dan muncul sebagai hasil perjanjian sosial.
- Kejahatan merupakan pelanggaran terhadap pelanggaran terhadap perlanggaran sosial
- Hukuman adalah cara untuk memelihara perjanjian sosial.
- Setiap orang dianggap sama dimuka hukum.
Ini merupakan kerangka pemikiran
dari semua pemikiran klasik seperti dalam filsafat, psikologi, politik, hukum
dan ekonomi. dalam konsep yang demikian maka masyarakat dibentuk sebagaimana
adanya sesuai dengan pola yang dikehendakinya. Kunci kemajuan menurut pemikiran
ini adalah kemampuan kecerdasan atau akal yang dapat ditingkatkan melalui
latihan dan pendidikan, sehingga manusia mampu mengontrol dirinya sendiri baik
sebagai individu maupun sebagai suatu masyarakat. Di dalam kerangka pemikiran
ini, lazimnya kejahatan dan penjahat dilihat dari semata - mata dari batasan
undang-undang.
Kejahatan didefinisikan sebagai setiap
pelanggaran terhadap perbuatan yang dilarang undang-undang pidana, penjahat
adalah setiap orang yang melakukan kejahatan. Kejahatan dipandang sebagai hasil
pilihan bebas dari individu dalam menilai untung ruginya melakukan kejahatan.
Oleh karena itu secara rasional tanggapan yang diberikan oleh masyarakat
terhadap hal ini adalah dengan meningkatkan kerugian yang harus dibayar dan
menurunkan keuntungan yang diperoleh dari kejahatan agar orang-orang tidak
memilih untuk melakukan kejahatan. Dalam hubungan ini maka tugas kriminologi
adalah untuk membuat pola dan menguji sistem hukuman yang dapat meminimalkan
terjadinya kejahatan.
Dengan demikian mengarahkan pada persoalan
penjeraan, baik yang bersifat teoritis maupun yang bersifat studi empirik dalam
mengukur seberapa jauh perbedaan dalam isi undang-undang atau pelaksanaan
hukuman mempengaruhi terjadinya kejahatan. Termasuk dalam lingkup ini adalah
penologi. Dalam leteratur kriminologi, pemikiran klasik (dan neo klasik) maupun
positive dan mencoba berbuat sesuatu terhadap kejahatan. Nama yang sangat
terkenal yang dihubungkan dengan mashab klasik adalah Cesare Beccaria (1738
--1794).
2. Kriminologi Positive
Aliran pemikiran ini bertolak pada
pandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar
kontrolnya, baik yang bempa faktor biologik maupun kultural. Ini berarti bahwa
manusia bukan mahkluk yang bebas untuk menuruti dorongan keinginannya dan
intelegensinya, akan tetapi mahkluk yang dibatasi atau ditentukan perangkat
biologiknya dan situasi kulturalnya. Manusia berkembang bukan semata-mata
kerena intelegensinya, akan tetapi melalui proses yang berjalan secara
perlahan-lahan dari aspek biologiknya atau evolusi kultural.
Aliran pemikiran positive ini menghasilkan
dua pandangan yang berbeda yaitu determinis biologik yang menganggap bahwa
organisasi sosial berkembang sebagai hasil individu dan perilakunya dipahami
dan sebagai pencerminan umum dan warisan biologik. Sebaliknya determinis
kultural menganggap perlikau manusia dalam segala aspeknya selalu berkaitan dan
mencerminkan ciri-ciri dunia sosio kultural secara relatif tidak tergantung
pada dunia biologik, dalam arti perubahan pada yang satu tidak berarti sesuai
atau segera menghasilkan perubahan pada lainnya. Perubahan kultural diterima
sebagai sesuai dengan bekerjanya ciri-ciri istimewa atau khusus dari fenomena
kultural daripada sebagai akibat dari keterbatasan-keterbatasan biologik semata.
Dengan demikian biologi bukan penghasil kultur, begitu juga penjelasan biologik
tidak mendasari fenomena kultural.
Itu adalah pandangan dari pemikiran
positivis yang dikenal dalam filsafat, sosiologi, sejarah, dan ilmu pengetahuan
alampada umumnya, positivis menolak penjelasan yang berorientasi pada nilai,
dan mengarahkan pada aspek-aspek yang dapat diukur dari pokok persoalannya
dalam usaha mencari hubungan sebab akibat. Dalam kerangka pemikiran yang
demikian, tugas kriminolog adalah menganalisis sebab-sebab perilaku kejahatan
melalui studi ilmiah terhadap ciri-ciri penjahat dari aspek fisik, sosial, dan
kultural. Oleh karena kriminologi positivis dalam bekerjanya menghadapi
kesulitan dalam menggunakan batasan undang-undang, sebab undang-undang seringkali
membedakan perbuatan legal dan ilegal atas dasar batas-batas yang sangat tajam
(‘teknis') yang tidak ada hubungannya dengan ide sebab-sebab, sehingga
cenderung memberikan berbagai "batasan ilmuah" terhadap kejahatan,
yang lebih diarahkan pada perilaku ciri-ciri perilaku itu sendiri daripada
perilaku yang didefinisikan oleh undang-undang pidana.
Misalnya Mannheim membela pandangan bahwa
kriminologi harus mempelajari seluruh perbuatan anti sosial, baik undang-undang
dinyatakan sebagai kejahatan maupun tidak. Sementara Sutherland dalam studinya
terhadap kejahatan white-collar menganggap kejahatan sebagai
perbuatan yang merugikan masyarakat, baik yang diatur dalam undang-undang
pidana maupun perdata, administrasi dan yang lainnya. Sedangkan Schwendingers memandang
kejahatan sebagai pelanggan terhadap hak-hak asasi manusia.
Cesare Lombroso (1835-1909) dapat dipandang sebagai pelopor aliran ini yang memulai studinya dengan mencari sebab-sebab kejahatan yang lebfli menekankan pada sifat dasar pelaku kejahatan daripada terhadap ciri-ciri perbuatan jahat.
Disamping itu aliran positivis dapat
dipandang sebagai yang pertamakali dalam bidang kriminologi yang
memformulasikan dan menggunakan cara pandang, metodologi, dan logika dari ilmu
pengetahuan alam didalam perbuatan manusia. Sebagai pelopor mashab positive,
Lombroso lebih dikenal dengan teori biologi kriminal, namun perlu dicatat bahwa
itu bukan merupakan dasar dari aliran positive. Dasar yang sesungguhnya dari
positivisme dalam kriminologi adalah konsep tentang sebab kejahatan yang banyak
(multiple factor causation), yakni faktor-faktor yang alami atau yang dibawa
manusia dan dunianya, yang sebagian bersifat biologik dan sebagian bersifat
biologik dan sebagian karena pengaruh lingkungan.
Aliran Positif memiliki pandangan yang
berbeda-beda tentang penyebab kejahatan. Aliran Positif jadi dapat disimpulkan
menjadi:
- Biologi
Positivis
Pendiri aliran ini adalah Cesare
Lombrosso. Inti dari biologi positivis adalah, bahwa pelaku kejahatan memiliki
perbedaan karakterisitik secara fisik dibandingkan manusia yang lain.
- Psikologi Positivis
Berbeda dengan biologi positivis,
psikologi positivis menekankan, bahwa kejahatan terjadi karena perbedaan
tingkat psikologis manusia. Tokoh Aliran ini adalah Sigmund Freud
- Sosiologi
Positivis
Menurut aliran ini kejahatan terjadi
karena faktor lingkungannya, yaitu keadaan masyarakat disekitarnya yang
mempengaruhi terjadinya kejahatan, seorang itu menjadi jahat atau tidak
tergantung pada lingkungannya.
3. Kriminologi Kritis
Pemikiran kritis yang dikenal dalam
berbagai disiplin ilmu seperti politik, ekonomi, sosiologi dan filsafat, mucul
pada beberapa dasawarsa terakhir ini. aliran pemikiran kritis tidak berusaha
menjawab pertanyaan apakah perilaku manusia itu bebas atau ditentukan, akan
tetapi lebih mengarahkan pada mempelajari proses-proses manusia dalam (
membangun dunianya dimana dia hidup. Kriminologi kritis misalnya berpendapat
bahwa fenomena kejahatan sebagai konstruksi sosial, artinya manakala masyarakat
mendefinisikan tindakan tertentu sebagai kejahatan, maka orang-orang tertentu
dan tindakan-tindakan mungkin pada waktu tertentu memenuhi batasan sebagai
kejahatan. Ini berarti bahwa kejahatan dan penjahat bukanlah fenomena yang
berdiri sendiri yang dapat diidentifikasikan dan dipelajari secara obyektifoleh
ilmuwan sosial, sebab dia ada hanya karena hal itu dinyatakan sebagai demikian
oleh "masyarakat". Oleh karenanya krimmologi kritis mempelajari
proses-proses dimana kumpulan tertentu dari orang-orang dan tindakan-tindakan
ditunjuk sebagai kriminal pada waktu dan tempat tertentu. kriminologi kritis
bukan sekedar mempelajari perilaku dari orang-orang yang didefinisikan sebagai
kejahatan, akan tetapi juga dari perilaku dari agen-agen kontrol sosial (aparat
penegak hukum), disamping mempertanyakan dijadikannya tindakan-tindakan
tertentu sebagai kejahatan.
Menurut kriminologi kritis maka tingkat
kejahatan dan ciri-ciri pelaku terutama ditentukan oleh bagaimana undang-undang
disusun dan dijalankan. Misalnya apabila sebagaian besar pelaku kejahatan
adalah orang-orang yang miskin, maka bukan kemiskinan yang merupakan
"sebab" kejahatan, akan tetapi kerena bentuk-bentuk tindakan yang
dilakukan oleh orang-orang miskin lebih banyak ditunjuk oleh undang-undang
sebagai kejahatan dan dalam bekerjanya hukum maka undang-undang macam beginilah
lebih banyak dijalankan. Ini berarti bahwa kita dapat memahami kejahatan
semata-mata dengan mempelajari penjahat ("resmi"), akan tetapi harus
dilihat dalam konteks keseluruhan proses kriminalisasi, yakni proses yang
mendefinisikan orang dan tindakan tertentu sebagai kejahatan.
Sehubungan dengan itu, maka tugas
kriminologi kritis adalah menganalisis proses-proses bagaimana cap jahat
tersebut diterapkan terhadap tindakan dan orang-orang tertentu. Pendekatan
kritis ini secara relatif dapat dibedakan antara pendekatan
"interaksionis" dan "konflik". Pendekatan interaksionis
berusaha untuk menentukan mengapa tindakan-tindakan dan orang-orang tertentu
didefinisikan sebagai kriminal dimasyarakat tertentu dengan cara mempelajari
"persepsi" makna kejahatan yang dimiliki masyarakat yang
bersangkutan. Mereka juga mempelajari makna kejahatan yang dimiliki agen
kontrol sosial dan orang-orang yang diberi batasan sebagai penjahat. Disamping
itu juga dipelajari makna proses sosial yang dimiliki kelompok bersangkutan
dalam mendefiniskan seseorang sebagai penjahat. Dengan demikian untuk dapat
memahami kejahatan, perlu dipelajari seluruh proses kriminalisasi, dalam arti
baik proses-proses yang mempengaruhi pembentukan undang-undang yakni yang
dijadikan orang (orang) tertentu sebagai penjahat.
Hubungan antara kejahatan dan proses
kriminalisasi secara umum dinyatakan dengan digunakannya konsep
"penyimpangan" (deviance) dan reaksi sosial. Kejahatan dipandang
sebagai bagian dari "penyimpangan sosial" dalam arti bahwa tindakan yang
bersangkuatan "berbeda" dari tindakan - tindakan yang dipandang
sebagai normal atau "biasa" dimasyarakat, dan terhadap "tindakan
menyimpang" tersebut diberikan reaksi sosial yang negatif, dalam arti
secara umum masyarakat memperlakukan orang - orang tersebut sebagai "berbeda"
dan "jahat".
Dengan demikian siapa yang dipandang
menyimpang dari masyarakat tertentu tergantung pada masyarakat itu sendiri.
Kadang -kadang kondisi yang mempengaruhi pemberian batasan itu tidak begitu
jelas, sehingga pada akhirnya banyak sekali tergantung dari sikap polisi, jaksa
dan hakim. (Misalnya pada kasus-kasus "perkosaan", khususnya tentang
batas - batas "godaan" yang boleh dilakukan pria). Dalam arti luas,
kejahatan (penyimpangan) seperti halnya kecantikan, ada di mata yang
memandangnya. Dengan demikian penyimpangan dan dan reaksi sosial merupakan
hubungan timbal balik yang hanya dapat dipahan-u dalam hubungan satu dengan
yang lain. Dasar pemikiran interaksionis ini bersumber pada "symbolic
interactionism" yang dikemukakan oleh Mead (1863-1931)
yang menekankan bahwa "sumber" perilaku manusia tidak hanya
ditentukan oleh peranan kondisi - kondisi sosial akan tetapijuga peranan
individu dalam menangani, menafsirkan dan berinteraksi dengan kondisi - kondisi
yang bersangkutan. Menurutnya manusia sebagai pencipta dan sekaligus sebagai
produk dari lingkungannya. Sebaliknya pendekatan konflik lebih memfokuskan
studinya dalam mempertanyakan "kekuasaan" dalam mendifinisikan
kejahatan.
Menurut kriminologi konflik, orang berbeda
karena memiliki perbedaan kekuasaan dalam mempengaruhi perbuatannya dan
bekerjanya hukum Secara umum dikatakan bahwa mereka yang mempunyai tingkat
kekuasaan yang lebih besar mempunyai kedudukan yang lebih baik (menguntungkan)
dalam mendefinisikan perbuatan - perbuatan yang bertentangan dengan nilai -
nilai dan kepentingannya sebagai kejahatan. Bersamaan dengan itu, mereka dapat
mencegah dijadikannya tindakan - tindakan tersebut bertentangan dengan nilai -
nilai dan kepentingan masyarakat yang lebih kecil kekuasaannya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa
kejahatan merupakan kebalikan dari kekuasaan: semakin besar kekuasaan yang
dimiliki seseorang atau kelompok orang - orang, semakin kecil kemungkinannya
untuk dijadikan sebagai kejahatan dan begitu sebaliknya. Orientasi sosio -
psikologis teori konflik terletak pada teori - teori interaksi sosial mengenai
pembentukan kepribadian dan konsep "proses sosial" dari perilaku
kolektif.
Pandangan mi mengasumsikan bahwa manusia
selalu merupakan mahkluk yang "terlibat" dengan kelompoknya, dalam
arti hidupnya merupakan bagian dan produk dari kelompok kumpulan - kumpulannya.
Pandangan ini juga beranggapan bahwa masyarakat merupakan kumpulan kelompok -
kelompok yang bersama - sama memikul perubahan, namun mampu menjaga
keseimbangan dalam menghadapi kepentingan - kepentingan dan usaha-usaha dari
kelompok yang bertentangan. Kontinuitas interaksi kelompok-kelompok ini,
serangkaian langkah atau tindakan dan peralawanannya yang berlangsung secara
terus menerus, tindak pengawasan yang bersifat timbal balik, merupakan unsur penting
dari konsep proses sosial. Pengaruh timbal balik yang berlangsung secara terus
menerus didalam menjaga keseimbangan (stabilitas) yang segera dan dinairds
memberi arti penting bagi ciri "perilaku kolektif yang berbeda dengan ide
perilaku individual yang stimulan. Arus yang berubah ubah dari tindakan
kolektif ini memberi kesempatan terhadap kemungkinan terjadinya pergeseran
posisi secara terus menerus, dalam arti kemungkman mendapatkan status atau
sebaliknya akan kehilangan.
Akibatnya ada kebutuhan untuk menjaga
dalam mempertahankan posisinya, disamping untuk selalu berusaha memperoleh
kesempatan dalam memperbaiki status didalam hubungan dengan kelompok-kelompok
yang ada Dengan demikian, menurut aliran pemikiran ini, konflik dipandang
sebagai sesuatu yang penting dan mendasar dari proses sosial dimana
kelangsungan sosial bergantung.
Pada tahun 1970-an muncul apa yang disebut
sebagai "kriminologi Marxis" mengenai istilah
"Kriminologi Marxis" terdapat beberapa penulis yang menentangnya.
Menurut Paul Q. Harist, tidak ada teori Marxis tentang kejahatan
baik dalam eksistensinya, maupun yang dapat dikembangkan dari marxisme yang
ortodoks. Uraian mengenai pandangan Hirst mi dapat dibaca dalam Taylor et. al.
(1987). Begitu juga dalam nada yang sama diajukan oleh Denisoff&
McQuarie (1975). Di Amerika, Kriminologi Mands dikembangkan dari teori
konflik yang antara lain diajukan oleh Quinney, sementara di Inggris berkembang
dari perspektif interaksionis yang antara lain dapat ditemukan pada karya Taylor, Walton
& Young (1973 dan 1978).
Tanpa bermaksud untuk memasuki lebih dalam
pembicaraan tentang Kriminologi Marxis, namun perlu dicatat bahwa teori konflik
tidak sama dengan teori Marxis. Lebih-lebih jika ada anggapan bahwa aliran
kritis sama dengan aliran Marxis, perlu dipertanyakan. Teori Kriminologi Mands
hanyalah merupakan salah satu usaha "mengembangkan" teori konflik
yang juga dipertanyakan kebenaran istilah tersebut sebagaimana disebutkan
diatas -disamping terdapat teori non Marxis, yang sangat berbeda.
Selain itujuga perlu dicatat bahwa
beberapa penulis bahkan mencampur adukkan antara teori konflik yang Marxis
dengan yang non Marxis, seperti Reid dan Alien. Reid misalnya,
menyatakan bahwa teori konflik berdasarkan pada 3 hal:
(1) bahwa perbedaan bekerjanya hukum
mencerminkan kepentingan rulling class
(2) bahwa perbuatan kejahatan akibat dari
cara produksi dalam masyarakat, dan
(3) bahwa hukum pidana dibuat untuk
mencapai kepentingan ekonomi dan rulling class.
Apa yang disebut oleh Raid tersebut adalah
tentang Kriminologi Marxis, bukan teori konflik yang non Mands. Misalnya konsep
rulling class tidak digunakan oleh pendukung teori konflik yang non Marxis
seperti Sellin, Void, Turk.
Secara umum teori konflik non Marxis
menunjukkan hubungan kekuasaan yang tidak seimbang mendasari terjadinya
kriminalisasi atas perilaku tertentu dibandingkan dengan yang lainnya dan tentu
saja dapat mengarah pada keinginan untuk mengubah hubungan tersebut. Hal ini
membawa analisis "obyektif proses kriminalisasi ke arah usaha yang bersifat
politis dalam membantu kelompok yang lemah dalam perjuangan menghadapi kelompok
yang sangat kuat. Satu perbedaan yang mendasar antara kriminologi Marxis dengan
yang non Marxis adalah pandangannya apakah kejahatan dianggap sebegai
patologis. Pada perspektif konflik yang non Marxis maka kej ahatan dipandang
sebagai tindakan yang normal dan orang - orang yang normal yang tidak memiliki
kekuasaan cukup untuk mengontrol proses kriminalisasi, dan dalam perspektif
perilaku menyimpang, kejahatan dipandang sebagai perwujudan dari kebutuhan
masyarakat untuk mengkriminalisasikan perbedaan. Pendukung kedua perspektif
kerenanya menolak ide bahwa kejahatan bersifat patologis dengan mengajukan
argumentasi bahwa keduanya, yaitu perbuatan dan kriminalisasi terhadap perbuatan
adalah normal.
Sebaliknya bagi kriminologi Mands,
dia kembali pada ide para positivis yakni bahwa kejahatan bersifat patologis,
yang didasarkan pada konsep Marx bahwa orang yang menjadi
"demoralized" dan subyek dari segala bentuk kejahatan dan perbuatan
yang tidak senonoh apabila dimasyarakat mereka ditolak peranannya sebagai
"produktif. Perilaku yang patologis tersebut berupa "batasan
alamiah" sebagai "perbuatan" yang merugika masyarakat atau
"tindakan - tindakan yang memperkosa hak - hak asasi manusia", dan
dapat meliputi kejahatan - kejahatan lapis bawah, dimana orang - orang miskin
merupakan sasarannya diantara mereka sendiri danjuga yang lainnya, maupun
kejahatan - kejahatan lapisatas, seperti pencemaran, perang dan ekploitasi
terhadap pekerja.
Sebab - sebab dari perilaku yang
bersangkutan dianalisis dan ditemukan melekat pada sistem ekonomi kapitalistik
dan untuk mengobatinya adalah melalui pembangunan masyarakat sosialis. Dengan
demikian struktur argumentasinya — batasan alamiah tentang kejahatan, mencari
sebab - sebab dan carta pengobatannya- identik dengan positivisme, akan tetapi
sangat berbeda dengan perspektif teori konflik yang non Marxis dan teori
interaksionis yang menganalisis proses - proses kriminalisasi. Bagi kriminologi
Marxis maka "tindakan yang merugikan masyarakat" yang
"memperkosa hak -hak asasi manusia" tidak dilihat sebagai normal akan
tetapi merupakan produk yang bersifat patologis dari sistem ekonomi yang
patologis.
Disamping itu negara - negara komunis
seperti Uni Soviet dan Jerman Timur (sebelum berantakan karena pengaruh glosnut
dan perestroika pada tahun 1980-an) karena dipengaruhi oleh kondisi politik dan
idelogi marxis yang dianut oleh negaranya, maka perkembangan kriminologinya
selalu berorientasi pada kepentingan praktis melalui keputusan - keputusan
partai— dan akan tetap menjadi bagian dari hukum pidana, dalam arti membantu
pihak penguasa dalam melaksanakan hukum pidana, dalam arti membantu pihak
penguasa dalam melaksanakan hukum pidana dan mencarikan bentuk - bentuk
penghukuman dan tindakan yang dipandang efektif. (bandingkan dengan kriminologi
klasik dan positive). Sedangkan studi kriminologi yang mempertanyakan
kebijaksanaan dan tindakan penguasa seperti dalam pembuatan undang-undang
maupun pelaksanaannya, dan karenanya juga mempertanyakan proses – proses
kriminalisasi, dianggap bertentangan dengan penguasa dan dilarang. Ini berarti
bahwa negara - negara komunis tidak dikenal aliran pemikiran kritis maupun
konflik dalam kriminologi. Akhimya, perlu dicatat bahwa konflik yang non Marxis
adalah pandangannya bahwasanya di dalam setiap masyarakat, apakah itu
masyarakat kapitalis, komunis, fasis, demokratis atau apasaja, selalu terdapat
konflik nilai - nilai dan kepentingan - kepentingan diantara bagian - bagian di
dalam masyarakat, dan penyelesaian dari pertentangan dan konflik tersebut akan
dipengaruhi oleh kekuasaan (power) dari kelompok-kelompok yang bertentangan.
Sesuai dengan tuntutan masyarakat modern, maka cara-cara penyelesaian konflik
ini terutama dilakukan melalui hukum, baik melalui pembuatan perundang
-undangan maupun melalui bekerjanya hukuman.