Pages

Rabu, 19 Juni 2013

Sumber Hukum Islam dan Tujuan Hukum Islam

Sumber Hukum Islam

Kata hukum islam adalah kata yang sepadan dengan “Syariah” yang kemudian disambung dengan kata islam dan menjadi Syariah Islam. Syariah islam secara garis besar mencakup 3 hal. Yakni:
1.      Ahkam Syar’iyyah I’tiqadiyah : hukum-hukum yang berkenaan dengan ‘aqidah atau keimanan.
2.      Ahkam Syar’iyyah Khuluqiyah : Hukum-hukum yang berkenaan dengan akhlak.
3.      Ahkam Syar’iyyah Amaliyah : Hukum-Hukum yang berkenaan dengan pelaksanaan (amaliyah) syariah dalam pengertian khusus.
Urutan penyebutan sumber hukum islam menunjukkan urutan, kedudukan, dan jenjang pengaplikasiannya. Sumber hukum islam tersebut antara lain:


1.        Al Quran
Al quran adalah kitab suci umat Islam. Kitab tersebut diturunkan kepada nabi terakhir, yaitu Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. Al quran memuat banyak sekali kandungan. Kandungan-kandungan tersebut berisi perintah, larangan, anjuran, ketentuan dan sebagainya. Al quran menjelaskan secara rinci bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupannya agar tercipta masyarakat yang madani. Maka dari itu, ayat-ayat Al quran inilah yang menjadi landasan utama untuk menetapkan suatu hukum. Al-qur’an memiliki kriteria antara lain:
a.                   Al-qur’an adalah firman Allah atau Kalamullah
b.                  Al-qur’an adalah mukjizat
c.                  Al-qur’an disampaikan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Al-qur’an sampai kepada kita dengan jalan mutawatir.
d.                  Al-qur’an diawali dengan surat Al fatihah dan diakhiri dengan surat An-nas
e.                  Al-qur’an diperintahkan untuk dibaca, karena membaca Al-qur’an merupakan ibadah
Ditinjau dari segi fungsi, Al-qur’an tidak sekedar untuk dibaca dalam arti melafalkan kata dan kalimatnya, tetapi yang paling penting adalah pemahaman, penghayatan dan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi Al-qur’an antara lain:
a.    Al-qur’an berfungsi sebagai petunjuk (hudan)
b.    Al-qur’an berfungsi sebagai penjelas (tibyan)
c.    Al-qur’an berfungsi sebagai pembeda (furqan)

Secara harfiah, al Qur’an berasal dari bahasa Arab yang artinya bacaan atau himpunan. Al Qur’an berarti bacaan, karena merupakan kitab yang wajib dibaca dan dipelajari, dan berati himpunan karena merupakan himpunan firman-firman Allah SWT (wahyu).[1] Para ulama tafsir al Qur’an dalam berbagai kitab ‘ulumul qur’an, ditinjau dari segi bahasa (lughowi atau etimologis) bahwa kata al Qur’an merupakan bentukmashdar dari kata qoro’a – yaqro’uu – qiroo’atan – wa qor’an – wa qur’aanan. Kata qoro’a berarti menghimpun dan menyatukan; al Qur’an pada hakikatnya merupakan himpunan huruf-huruf dan kata-kata yang menjadi satu ayat, himpunan ayat-ayat menjadi surat, himpunan surat menjadi mushaf al Qur’an. Di samping itu, mayoritas ulama mengatakan bahwa al Qur’an dengan akar kataqoro’a, bermakna tilawah: membaca. Kedua makna ini bisa dipadukan menjadi satu, menjadi “al Qur’an itu merupakan himpunan huruf-huruf dan kata-kata yang dapat dibaca”Makna al Qur’an secara ishtilaahi, al Qur’an itu adalah 
“Firman Allah SWT yang menjadi mu’jizat abadi kepada Rasulullah yang tidak mungkin bisa ditandingi oleh manusia, diturunkan ke dalam hati Rasulullah SAW, diturunkan ke generasi berikutnya secara mutawatir, ketika dibaca bernilai ibadah dan berpahala besar”



2.        Al Sunah atau Al-Hadist
Hadist adalah segala sesuatu yang berlandaskan pada Rasulullah SAW. Baik berupa perkataan, perilaku, persetujuan, dan sifat beliau. Hadist menjadi landasan sumber yang paling kuat setelah Al quran. Perkataan hadis berasal dari bahasa Arab yang artinya baru, tidak lama, ucapan, pembicaraan, dan cerita. Menurut istilah shli hadis yang dimaksud dengan hadis adalah segala berita yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, berupa ucapan, perbuatan, dan takkir (persetujuan Nabi SAW) serta penjelasan sifat-sifat Nabi SAW[2]. As-Sunah atau dalam istilah lain Hadis Nabi, secara istilah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan. Adapun arti kehujahan Sunah di sini adalah: kewajiban bagi kita untuk beramal sesuai dengan As-Sunah dan menjadikannya sebagai dalil untuk menggali hukum syari’. Alasan mengapa Hadits di jadikan sumber hukum islam As-Sunah sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran, tidak diragukan pengaruhnya di dalam dunia fiqih Islam, terutama  pada masa para imam mujtahid dengan berdirinya mazhab-mazhab ijtihad. Sebagai masa  kejayaan kajian ilmu hukum Islam di dalam dunia sejarah. Hal semacam ini tidak pernah terjadi pada umat agama lain, baik di zaman dahulu atau sekarang. Setiap orang yang mendalami mazhab-mazhab fiqih, maka akan mengetahui betapa besar pengaruh As-Sunah di dalam penetapan hukum-hukum fiqih. As-Sunah atau dalam istilah lain Hadis Nabi, secara terminologi adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan. Adapun arti kehujahan Sunah di sini adalah: kewajiban bagi kita untuk beramal sesuai dengan As-Sunah dan menjadikannya sebagai dalil untuk menggali hukum syari’. Hadis Nabi, walaupun dapat menjadi hujah secara independen (mustaqil), sebagaimana juga Al-Quran, namun kedua kitab tersebut saling melengkapi dan melegitimasi bahwa keduanya adalah hujah dan sumber hukum di dalam syari’at Islam. Nabi Muhammad menjadi sosok yang paling sentral bagi umat Islam karena umat Islam meyakini bahwa segala perbuatan Rasulullah tidak sedikit pun yang bertentangan dengan Al quran dan beliau terbebas dari kesalahan.
            Sebagai sumber hukum kedua setelah Al-qur’an, Fungsi Hadist adalah:
a.    Menetapkan dan memperkuat hukum yang telah ditetapkan Al-qur’an.
b.    Penjelasan terhadap ayat-ayat Al-qur’an.
c.    Menetapkan hukum yang tidak ada penjelasannya dalam Al-qur’an.

3.        Ijtihad
Pengertian ijtihad secara bahasa atau pengertian menurut bahasa, ijtihad artinya, bersungguh-sungguh menggunakan tenaga dan pikiran. Sedangkan dalam pengertian secara istilah, ijtihad ialah, menggunakan pikiran untuk menetapkan hukum atas sesuatu perkara yang dalam al Qur’an dan Sunnah Rasulullah belum dinyatakan hukumnya. Akan tetapi, pengertian tersebut sama sekali tidak berarti bahwa dalam Al Qur’an dan Sunnah terdapat kekurangan, hanya saja manakala beberapa masalah tidak ditetapkan hukumnya. Menurut pengertian kebahasaan kata Ijtihad berasal dari bahasa Arab, yang kata kerjanya “jahada”, yang artinya berusaha dengan sungguh-sungguh. Menurut istilah dalam ilmu fikih, ijtihad berarti mengerahkan tenaga dan pikiran dengan sungguh-sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan hukum-hukum yang terkandung du dalam al Qur’an dan Hadis dengan syarat-syarat tertentu.
Ijtihad menempati kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al Qur’an dan Hadis. Allah SWT berfirman:
“Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.”

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari Baitullah, apabila hendak mengerjakan sholat ia dapat mencari dan menentukan arah kiblat saat itu melalui ijtihad dengan mencurahkan pikirannya berdasarkan tanda-tanda yang ada.


4.        Ijma' Ulama
Ijma' ulama adalah kesepakatan para ulama yang mengambil simpulan berdasarkan dalil-dalil Al quran atau hadist. Para ulama mengambil ijma' karena dalam Al quran ataupun hadist tidak dijelaskan secara teperinci sebuah ketetapan yang terjadi pada masa itu atau kini. Dengan demikian, para ulama mengadakan rapat dan membuat kesepakatan sehingga hasil rapat atau kesepakatan tersebut menjadi ketetapan hukum. Ijma ulama tidak boleh bertentangn dengan al-Qur'an ataupun hadist. Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan أجمع فلان على الأمر berarti berupaya di atasnya. Sebagaimana firman Allah Swt:
“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu. (Qs.10:71)
Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang.
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara. Jika menurut prinsip dari pendirian golongan syi’ah, memang ijma’ dan qiyas itu tidak dapat digunakan sebagai landasan Hukum. Akan tetapi bagi madzhab Syafi’i dan juga madzhab mu’tabar yang lain, menggunakan ijma’ dan qiyas sebagai landasan hukum itu, tidak menyimpang dari Al-Qur’an dan Hadits, sebab Al-Qur’an dan Hadits sendiri juga memerintahkan supaya kita menggunakan Ijma’ dan Qiyas. Dari Ali ra. menceritakan, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW., “Wahai Rasulullah, jika kami menjumpai suatu urusan yang belum jelas mengenainya apakah diperintah atau dilarang, apa yang engkau perintahkan kepada kami?”
Nabi SAW. bersabda :
”Musyawarahkanlah urusan itu dengan fuqaha (orang-orang yang mendalam agamanya) dan para ‘abidin (orang-orang yang kuat ibadahnya/orang-orang shalih), dan janganlah kalianmemutuskan urusan itu dengan hanya mengikuti pendapat tertentu.”


5.        Qiyas
Qiyas berarti menjelaskan sesuatu yang tidak ada dalil nashnya dalam Al quran ataupun hadist dengan cara membandingkan sesuatu yang serupa dengan sesuatu yang hendak diketahui hukumnya tersebut. Misalnya, dalam Al quran dijelaskan bahwa segala sesuatu yang memabukkan adalah haram hukumnya.
Al Quran tidak menjelaskan bahwa arak haram, sedangkan arak adalah sesuatu yang memabukkan. Dengan demikian, kita akan mengambil qiyas bahwa arak haram hukumnya karena memabukkan. Itulah sumber-sumber utama yang menjadi landasan untuk menetapkan hukum Islam. Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.
Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.5:90)


Tujuan Hukum Islam

Tujuan hukum Islam adalah setiap tingkah dan perilaku manusia dalam menerapkan hidup dengan mentaati serta tidak bertindak sesuai yang telah menjadi hukumNya. Dalam FirmanNya Allah tegas memberikan segala ciptaannya pada manusia itu tidaklah sia-sia. Surat Al-Mu’minun ayat 115.
Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami? (QS Al-Mu’minun ayat 115).
Kata hukum islam adalah kata yang sepadan dengan “Syariah” yang kemudian disambung dengan kata islam dan menjadi Syariah Islam. Syariah islam secara garis besar mencakup 3 hal. Yakni:
1.      Ahkam Syar’iyyah I’tiqadiyah : hukum-hukum yang berkenaan dengan ‘aqidah atau keimanan.
2.      Ahkam Syar’iyyah Khuluqiyah : Hukum-hukum yang berkenaan dengan akhlak.
3.      Ahkam Syar’iyyah Amaliyah : Hukum-Hukum yang berkenaan dengan pelaksanaan (amaliyah) syariah dalam pengertian khusus.

Keberadaan hukum tidak dapat terlepas dengan tujuan dan harapan manusia sebagai pelaku atau subjek hukum, dan harapan manusia sebagai pelaku hukum disini dapat kita kategorikan sebagai tujuan khusus diantaranya:
1.      Kemashlahatan hidup bagi diri dan orang lain
2.      Tegaknya Keadilan
3.      Persamaan hak dan kewajiban dalam hukum
4.      Saling control di dalam kehidupan bermasyarakat
5.      Kebebasan berekspresi, berpendapat, bertindak dengan tidak melebihi batas-batas hukum dan norma sosial
6.      Regenerasi sosial yang positif dan bertanggung jawab

Asy Syatibi mengatakan bahwa tujuan syariat hukum Islam adalah mencapai kemashlahatan hambanya, baik di dunia maupun diakhirat. Kemashlahatan tersebut didasarkan kepada 5 hal mendasar, diantaranya: 
1.      Memelihara Agama
Pemeliharan agama merupakan tujuan pertama hukum Islam. Sebabnya adalah karena agama merupakan pedoman hidup manusia, dan didalam Agama Islam selain komponen-komponen akidah yang merupakan sikap hidup seorang muslim, terdapat juga syariat yang merupakan sikap hidup seorang muslim baik dalam berrhubungan dengan Tuhannya maupun dalam berhubungan dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Karena itulah maka hukum Islam wajib melindungi agama yang dianut oleh seseorang dan menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beribadah menurut keyakinannya. Hal ini didasarkan dengan Firman Allah Surat Asy-Syura’ ayat 13 :
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).

Memelihara jiwa
Untuk tujuan ini, Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman Qisas (pembalasan yang setimbang), sehingga dengan demikian diharapkan agar orang sebelum melakukan pembunuhan, berpikir panjang karena apabila orang yang dibunuh itu mati, maka si pembunuh juga akan mati atau jika orang yang dibunih itu tidak mati tetap hanya cedera, maka si pelakunya juga akan cedera. Allah telah berfirman didalam surat Al Baqarah 178-179 :
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.

Memelihara akal
Manusia adalah makhluk Allah Swt. Ada dua hal yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Pertama, Allah Swt telah menjadikan manusia dalam bentuk yang paling baik, di bandingkan dengan bentuk makhluk-makhluk lain dari berbagai makhluk lain. Allah menjelaskan ini melalui surat Al Maidah ayat 90-91 :
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
                                                               
 Memelihara Keturunan
Untuk ini islam mengatur pernikahan dan mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, bagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan pencampuran antara dua manusia yang belainan jenis itu tidak dianggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya. Malahan tidak melarang itu saja, tetapi juga melarang hal-hal yang dapat membawa kepada zina. Firman Allah surat An Nisa ayat 3 dan 4 :
dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Memilihara Harta Benda dan Kehormatan
Meskipun pada hakekatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia itu manusia snagt tamak kepada harta benda, sehingga mau mengusahakannya dengan jalan apapun, maka Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk ini Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai muamalah seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai menggadai, dan sebagainya, serta melarang penipuan, riba dan mewajibkan kepada orang yang merusak barang orang lain untuk membayarnya, harta yang dirusak oleh anak-anak yang dibawah tanggungannya, bahkan yang dirusak oleh binatang peliharaannya sekalipun. Allah berfirman dalam Al Quran surat Al Baqarah 188: 
dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.

Perkembangan Hukum Islam Dalam Sejarah


Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda

Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.

Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.

Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah, itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.



Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda

Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.

Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.

Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:

- Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.

- Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.

- Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.

Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam.

Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.

Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut :

— Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.

— Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.

— Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat).

— Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.

Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.



Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang

Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda.

Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:

- Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.

- Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.

- Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.

- Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.

- Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.

- Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka

Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.



Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)

Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam. Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia”.

Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.

Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI.

Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan, kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.

Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950. Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.

Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat.

Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.

Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.

Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.

Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan.

Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islamnya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya Negara boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar apa yang mereka sebut dengan “kesadaran teologis-politis”nya.



Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru

Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno[27]- bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan, salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.

Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.



Hukum Islam di Era Reformasi

Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.

Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.

Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.



Referensi

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara (Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia), Paramadina, Jakarta, Oktober 1998.

Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta, September 2000.

Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005.