Sumber Hukum Islam
Kata hukum islam adalah kata yang sepadan dengan “Syariah” yang kemudian
disambung dengan kata islam dan menjadi Syariah Islam. Syariah islam secara
garis besar mencakup 3 hal. Yakni:
1.
Ahkam Syar’iyyah I’tiqadiyah :
hukum-hukum yang berkenaan dengan ‘aqidah atau keimanan.
2.
Ahkam Syar’iyyah Khuluqiyah : Hukum-hukum
yang berkenaan dengan akhlak.
3.
Ahkam Syar’iyyah Amaliyah : Hukum-Hukum
yang berkenaan dengan pelaksanaan (amaliyah) syariah dalam pengertian khusus.
Urutan penyebutan sumber hukum islam menunjukkan urutan, kedudukan, dan
jenjang pengaplikasiannya. Sumber hukum islam tersebut antara lain:
1.
Al Quran
Al quran adalah kitab suci umat Islam. Kitab tersebut diturunkan kepada
nabi terakhir, yaitu Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. Al quran memuat
banyak sekali kandungan. Kandungan-kandungan tersebut berisi perintah,
larangan, anjuran, ketentuan dan sebagainya. Al quran menjelaskan secara rinci
bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupannya agar tercipta masyarakat
yang madani. Maka dari itu, ayat-ayat Al quran inilah yang menjadi landasan
utama untuk menetapkan suatu hukum. Al-qur’an memiliki kriteria antara lain:
a.
Al-qur’an adalah firman Allah atau
Kalamullah
b.
Al-qur’an adalah mukjizat
c.
Al-qur’an disampaikan kepada Nabi
Muhammad melalui malaikat Jibril. Al-qur’an sampai kepada kita dengan jalan
mutawatir.
d.
Al-qur’an diawali dengan surat Al
fatihah dan diakhiri dengan surat An-nas
e.
Al-qur’an diperintahkan untuk dibaca,
karena membaca Al-qur’an merupakan ibadah
Ditinjau dari segi fungsi, Al-qur’an tidak sekedar untuk dibaca dalam arti
melafalkan kata dan kalimatnya, tetapi yang paling penting adalah pemahaman,
penghayatan dan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi Al-qur’an
antara lain:
a. Al-qur’an berfungsi sebagai petunjuk (hudan)
b. Al-qur’an berfungsi sebagai penjelas (tibyan)
c. Al-qur’an berfungsi sebagai pembeda (furqan)
Secara harfiah, al
Qur’an berasal dari bahasa Arab yang artinya bacaan atau himpunan. Al Qur’an
berarti bacaan, karena merupakan kitab yang wajib dibaca dan dipelajari, dan
berati himpunan karena merupakan himpunan firman-firman Allah SWT (wahyu).[1] Para ulama tafsir al
Qur’an dalam berbagai kitab ‘ulumul qur’an, ditinjau dari segi
bahasa (lughowi atau etimologis) bahwa kata al Qur’an
merupakan bentukmashdar dari kata qoro’a – yaqro’uu
– qiroo’atan – wa qor’an – wa qur’aanan. Kata qoro’a berarti
menghimpun dan menyatukan; al Qur’an pada hakikatnya merupakan himpunan
huruf-huruf dan kata-kata yang menjadi satu ayat, himpunan ayat-ayat menjadi
surat, himpunan surat menjadi mushaf al Qur’an. Di samping itu, mayoritas ulama
mengatakan bahwa al Qur’an dengan akar kataqoro’a, bermakna tilawah:
membaca. Kedua makna ini bisa dipadukan menjadi satu, menjadi “al
Qur’an itu merupakan himpunan huruf-huruf dan kata-kata yang dapat dibaca”Makna
al Qur’an secara ishtilaahi, al Qur’an itu adalah
“Firman Allah SWT yang menjadi mu’jizat
abadi kepada Rasulullah yang tidak mungkin bisa ditandingi oleh manusia,
diturunkan ke dalam hati Rasulullah SAW, diturunkan ke generasi berikutnya
secara mutawatir, ketika dibaca bernilai ibadah dan berpahala besar”
2.
Al Sunah atau Al-Hadist
Hadist adalah segala sesuatu yang berlandaskan pada Rasulullah SAW. Baik
berupa perkataan, perilaku, persetujuan, dan sifat beliau. Hadist menjadi
landasan sumber yang paling kuat setelah Al quran. Perkataan hadis berasal dari bahasa Arab yang artinya baru, tidak
lama, ucapan, pembicaraan, dan cerita. Menurut istilah shli hadis yang
dimaksud dengan hadis adalah segala berita yang bersumber dari Nabi Muhammad
SAW, berupa ucapan, perbuatan, dan takkir (persetujuan Nabi
SAW) serta penjelasan sifat-sifat Nabi SAW[2]. As-Sunah atau dalam
istilah lain Hadis Nabi, secara istilah adalah segala sesuatu yang bersumber
dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan. Adapun
arti kehujahan Sunah di sini adalah: kewajiban bagi kita untuk beramal sesuai
dengan As-Sunah dan menjadikannya sebagai dalil untuk menggali hukum syari’. Alasan
mengapa Hadits di jadikan sumber hukum islam As-Sunah sebagai sumber hukum
Islam kedua setelah Al-Quran, tidak diragukan pengaruhnya di dalam dunia fiqih
Islam, terutama pada masa para imam mujtahid dengan berdirinya
mazhab-mazhab ijtihad. Sebagai masa kejayaan kajian ilmu hukum Islam di
dalam dunia sejarah. Hal semacam ini tidak pernah terjadi pada umat agama lain,
baik di zaman dahulu atau sekarang. Setiap orang yang mendalami mazhab-mazhab
fiqih, maka akan mengetahui betapa besar pengaruh As-Sunah di dalam penetapan
hukum-hukum fiqih. As-Sunah atau dalam istilah lain Hadis Nabi, secara
terminologi adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, baik
berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan. Adapun arti kehujahan Sunah di sini
adalah: kewajiban bagi kita untuk beramal sesuai dengan As-Sunah dan
menjadikannya sebagai dalil untuk menggali hukum syari’. Hadis Nabi, walaupun
dapat menjadi hujah secara independen (mustaqil), sebagaimana juga Al-Quran,
namun kedua kitab tersebut saling melengkapi dan melegitimasi bahwa keduanya
adalah hujah dan sumber hukum di dalam syari’at Islam. Nabi Muhammad menjadi sosok yang paling sentral bagi umat Islam karena
umat Islam meyakini bahwa segala perbuatan Rasulullah tidak sedikit pun yang
bertentangan dengan Al quran dan beliau terbebas dari kesalahan.
Sebagai sumber hukum kedua setelah Al-qur’an, Fungsi Hadist adalah:
a. Menetapkan dan memperkuat hukum yang telah ditetapkan Al-qur’an.
b. Penjelasan terhadap ayat-ayat Al-qur’an.
c. Menetapkan hukum yang tidak ada penjelasannya dalam Al-qur’an.
3.
Ijtihad
Pengertian
ijtihad secara bahasa atau pengertian menurut bahasa, ijtihad artinya,
bersungguh-sungguh menggunakan tenaga dan pikiran. Sedangkan dalam pengertian
secara istilah, ijtihad ialah, menggunakan pikiran untuk menetapkan hukum atas
sesuatu perkara yang dalam al Qur’an dan Sunnah Rasulullah belum dinyatakan
hukumnya. Akan tetapi, pengertian tersebut sama sekali tidak berarti bahwa
dalam Al Qur’an dan Sunnah terdapat kekurangan, hanya saja manakala beberapa
masalah tidak ditetapkan hukumnya. Menurut pengertian kebahasaan kata Ijtihad
berasal dari bahasa Arab, yang kata kerjanya “jahada”, yang artinya berusaha dengan
sungguh-sungguh. Menurut istilah dalam ilmu fikih, ijtihad berarti mengerahkan
tenaga dan pikiran dengan sungguh-sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan
hukum-hukum yang terkandung du dalam al Qur’an dan Hadis dengan syarat-syarat
tertentu.
Ijtihad
menempati kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al Qur’an dan Hadis.
Allah SWT berfirman:
“Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke
arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka palingkanlah
wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali
orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka
dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan
supaya kamu mendapat petunjuk.”
Dari
ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari Baitullah,
apabila hendak mengerjakan sholat ia dapat mencari dan menentukan arah kiblat
saat itu melalui ijtihad dengan mencurahkan pikirannya berdasarkan tanda-tanda
yang ada.
4.
Ijma' Ulama
Ijma' ulama adalah kesepakatan para
ulama yang mengambil simpulan berdasarkan dalil-dalil Al quran atau hadist.
Para ulama mengambil ijma' karena dalam Al quran ataupun hadist tidak
dijelaskan secara teperinci sebuah ketetapan yang terjadi pada masa itu atau
kini. Dengan demikian, para ulama mengadakan rapat dan membuat kesepakatan
sehingga hasil rapat atau kesepakatan tersebut menjadi ketetapan hukum. Ijma
ulama tidak boleh bertentangn dengan al-Qur'an ataupun hadist. Ijma’ dalam
pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap
sesuatu. disebutkan أجمع فلان على الأمر berarti berupaya di atasnya.
Sebagaimana firman Allah Swt:
“Karena itu
bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu. (Qs.10:71)
Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang pertama dengan
yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih
dari satu orang.
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah
kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah
wafat Rasul Saw atas hukum syara. Jika menurut prinsip dari pendirian golongan
syi’ah, memang ijma’ dan qiyas itu tidak dapat digunakan sebagai landasan
Hukum. Akan tetapi bagi madzhab Syafi’i dan juga madzhab mu’tabar yang lain,
menggunakan ijma’ dan qiyas sebagai landasan hukum itu, tidak menyimpang dari
Al-Qur’an dan Hadits, sebab Al-Qur’an dan Hadits sendiri juga memerintahkan
supaya kita menggunakan Ijma’ dan Qiyas. Dari Ali ra. menceritakan, “Aku pernah
bertanya kepada Rasulullah SAW., “Wahai Rasulullah, jika kami menjumpai suatu
urusan yang belum jelas mengenainya apakah diperintah atau dilarang, apa yang
engkau perintahkan kepada kami?”
Nabi SAW. bersabda :
”Musyawarahkanlah urusan itu dengan fuqaha
(orang-orang yang mendalam agamanya) dan para ‘abidin (orang-orang yang kuat
ibadahnya/orang-orang shalih), dan janganlah kalianmemutuskan urusan itu dengan
hanya mengikuti pendapat tertentu.”
5.
Qiyas
Qiyas berarti menjelaskan sesuatu yang tidak ada dalil nashnya dalam Al
quran ataupun hadist dengan cara membandingkan sesuatu yang serupa dengan
sesuatu yang hendak diketahui hukumnya tersebut. Misalnya, dalam Al quran
dijelaskan bahwa segala sesuatu yang memabukkan adalah haram hukumnya.
Al Quran tidak menjelaskan bahwa arak haram, sedangkan arak adalah sesuatu
yang memabukkan. Dengan demikian, kita akan mengambil qiyas bahwa arak haram
hukumnya karena memabukkan. Itulah sumber-sumber utama yang menjadi
landasan untuk menetapkan hukum Islam. Dengan demikian qiyas itu penerapan
hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat
akan melahirkan hukum yang sama pula.
Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al
Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang
beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.5:90)
Tujuan
Hukum Islam
Tujuan hukum Islam adalah setiap tingkah dan perilaku manusia
dalam menerapkan hidup dengan mentaati serta tidak bertindak sesuai yang telah
menjadi hukumNya. Dalam FirmanNya Allah tegas memberikan segala ciptaannya pada
manusia itu tidaklah sia-sia. Surat Al-Mu’minun ayat 115.
Maka Apakah kamu mengira, bahwa
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak
akan dikembalikan kepada kami? (QS Al-Mu’minun ayat 115).
Kata
hukum islam adalah kata yang sepadan dengan “Syariah” yang kemudian disambung
dengan kata islam dan menjadi Syariah Islam. Syariah islam secara garis besar
mencakup 3 hal. Yakni:
1. Ahkam
Syar’iyyah I’tiqadiyah : hukum-hukum yang berkenaan dengan ‘aqidah atau
keimanan.
2. Ahkam
Syar’iyyah Khuluqiyah : Hukum-hukum yang berkenaan dengan akhlak.
3. Ahkam
Syar’iyyah Amaliyah : Hukum-Hukum yang berkenaan dengan pelaksanaan (amaliyah)
syariah dalam pengertian khusus.
Keberadaan
hukum tidak dapat terlepas dengan tujuan dan harapan manusia sebagai pelaku
atau subjek hukum, dan harapan manusia sebagai pelaku hukum disini dapat kita
kategorikan sebagai tujuan khusus diantaranya:
1. Kemashlahatan
hidup bagi diri dan orang lain
2. Tegaknya
Keadilan
3. Persamaan
hak dan kewajiban dalam hukum
4. Saling
control di dalam kehidupan bermasyarakat
5. Kebebasan
berekspresi, berpendapat, bertindak dengan tidak melebihi batas-batas hukum dan
norma sosial
6. Regenerasi
sosial yang positif dan bertanggung jawab
Asy Syatibi mengatakan
bahwa tujuan syariat hukum Islam adalah mencapai kemashlahatan hambanya, baik
di dunia maupun diakhirat. Kemashlahatan tersebut didasarkan kepada 5
hal mendasar, diantaranya:
1. Memelihara Agama
Pemeliharan
agama merupakan tujuan pertama hukum Islam. Sebabnya adalah karena agama
merupakan pedoman hidup manusia, dan didalam Agama Islam selain
komponen-komponen akidah yang merupakan sikap hidup seorang muslim, terdapat
juga syariat yang merupakan sikap hidup seorang muslim baik dalam berrhubungan
dengan Tuhannya maupun dalam berhubungan dengan manusia lain dan benda dalam
masyarakat. Karena itulah maka hukum Islam wajib melindungi agama yang dianut
oleh seseorang dan menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beribadah menurut
keyakinannya. Hal ini didasarkan dengan Firman Allah Surat
Asy-Syura’ ayat 13 :
Dia telah
mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu
seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali
(kepada-Nya).
Memelihara jiwa
Untuk tujuan
ini, Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman Qisas (pembalasan
yang setimbang), sehingga dengan demikian diharapkan agar orang sebelum
melakukan pembunuhan, berpikir panjang karena apabila orang yang dibunuh itu
mati, maka si pembunuh juga akan mati atau jika orang yang dibunih itu tidak
mati tetap hanya cedera, maka si pelakunya juga akan cedera. Allah
telah berfirman didalam surat Al Baqarah 178-179 :
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan
orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa
yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar
(diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian
itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang
melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam
qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa.
Memelihara akal
Manusia
adalah makhluk Allah Swt. Ada dua hal yang membedakan manusia dengan makhluk
lain. Pertama, Allah Swt telah menjadikan manusia dalam bentuk yang paling
baik, di bandingkan dengan bentuk makhluk-makhluk lain dari berbagai makhluk
lain. Allah
menjelaskan ini melalui surat Al Maidah ayat 90-91 :
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan
permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi
itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah
kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
Memelihara Keturunan
Untuk ini
islam mengatur pernikahan dan mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang
tidak boleh dikawini, bagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan
syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan
pencampuran antara dua manusia yang belainan jenis itu tidak dianggap sah dan
menjadi keturunan sah dari ayahnya. Malahan tidak melarang itu saja, tetapi
juga melarang hal-hal yang dapat membawa kepada zina. Firman Allah surat An Nisa ayat 3 dan 4 :
dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya. Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Memilihara Harta Benda dan Kehormatan
Meskipun
pada hakekatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun Islam juga
mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia itu manusia snagt tamak
kepada harta benda, sehingga mau mengusahakannya dengan jalan apapun, maka
Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain.
Untuk ini Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai muamalah seperti
jual beli, sewa-menyewa, gadai menggadai, dan sebagainya, serta melarang
penipuan, riba dan mewajibkan kepada orang yang merusak barang orang lain untuk
membayarnya, harta yang dirusak oleh anak-anak yang dibawah tanggungannya,
bahkan yang dirusak oleh binatang peliharaannya sekalipun. Allah berfirman dalam Al
Quran surat Al Baqarah 188:
dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu
mengetahui.