Pages

Rabu, 19 Juni 2013

Sumber Hukum Islam dan Tujuan Hukum Islam

Sumber Hukum Islam

Kata hukum islam adalah kata yang sepadan dengan “Syariah” yang kemudian disambung dengan kata islam dan menjadi Syariah Islam. Syariah islam secara garis besar mencakup 3 hal. Yakni:
1.      Ahkam Syar’iyyah I’tiqadiyah : hukum-hukum yang berkenaan dengan ‘aqidah atau keimanan.
2.      Ahkam Syar’iyyah Khuluqiyah : Hukum-hukum yang berkenaan dengan akhlak.
3.      Ahkam Syar’iyyah Amaliyah : Hukum-Hukum yang berkenaan dengan pelaksanaan (amaliyah) syariah dalam pengertian khusus.
Urutan penyebutan sumber hukum islam menunjukkan urutan, kedudukan, dan jenjang pengaplikasiannya. Sumber hukum islam tersebut antara lain:


1.        Al Quran
Al quran adalah kitab suci umat Islam. Kitab tersebut diturunkan kepada nabi terakhir, yaitu Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. Al quran memuat banyak sekali kandungan. Kandungan-kandungan tersebut berisi perintah, larangan, anjuran, ketentuan dan sebagainya. Al quran menjelaskan secara rinci bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupannya agar tercipta masyarakat yang madani. Maka dari itu, ayat-ayat Al quran inilah yang menjadi landasan utama untuk menetapkan suatu hukum. Al-qur’an memiliki kriteria antara lain:
a.                   Al-qur’an adalah firman Allah atau Kalamullah
b.                  Al-qur’an adalah mukjizat
c.                  Al-qur’an disampaikan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Al-qur’an sampai kepada kita dengan jalan mutawatir.
d.                  Al-qur’an diawali dengan surat Al fatihah dan diakhiri dengan surat An-nas
e.                  Al-qur’an diperintahkan untuk dibaca, karena membaca Al-qur’an merupakan ibadah
Ditinjau dari segi fungsi, Al-qur’an tidak sekedar untuk dibaca dalam arti melafalkan kata dan kalimatnya, tetapi yang paling penting adalah pemahaman, penghayatan dan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi Al-qur’an antara lain:
a.    Al-qur’an berfungsi sebagai petunjuk (hudan)
b.    Al-qur’an berfungsi sebagai penjelas (tibyan)
c.    Al-qur’an berfungsi sebagai pembeda (furqan)

Secara harfiah, al Qur’an berasal dari bahasa Arab yang artinya bacaan atau himpunan. Al Qur’an berarti bacaan, karena merupakan kitab yang wajib dibaca dan dipelajari, dan berati himpunan karena merupakan himpunan firman-firman Allah SWT (wahyu).[1] Para ulama tafsir al Qur’an dalam berbagai kitab ‘ulumul qur’an, ditinjau dari segi bahasa (lughowi atau etimologis) bahwa kata al Qur’an merupakan bentukmashdar dari kata qoro’a – yaqro’uu – qiroo’atan – wa qor’an – wa qur’aanan. Kata qoro’a berarti menghimpun dan menyatukan; al Qur’an pada hakikatnya merupakan himpunan huruf-huruf dan kata-kata yang menjadi satu ayat, himpunan ayat-ayat menjadi surat, himpunan surat menjadi mushaf al Qur’an. Di samping itu, mayoritas ulama mengatakan bahwa al Qur’an dengan akar kataqoro’a, bermakna tilawah: membaca. Kedua makna ini bisa dipadukan menjadi satu, menjadi “al Qur’an itu merupakan himpunan huruf-huruf dan kata-kata yang dapat dibaca”Makna al Qur’an secara ishtilaahi, al Qur’an itu adalah 
“Firman Allah SWT yang menjadi mu’jizat abadi kepada Rasulullah yang tidak mungkin bisa ditandingi oleh manusia, diturunkan ke dalam hati Rasulullah SAW, diturunkan ke generasi berikutnya secara mutawatir, ketika dibaca bernilai ibadah dan berpahala besar”



2.        Al Sunah atau Al-Hadist
Hadist adalah segala sesuatu yang berlandaskan pada Rasulullah SAW. Baik berupa perkataan, perilaku, persetujuan, dan sifat beliau. Hadist menjadi landasan sumber yang paling kuat setelah Al quran. Perkataan hadis berasal dari bahasa Arab yang artinya baru, tidak lama, ucapan, pembicaraan, dan cerita. Menurut istilah shli hadis yang dimaksud dengan hadis adalah segala berita yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, berupa ucapan, perbuatan, dan takkir (persetujuan Nabi SAW) serta penjelasan sifat-sifat Nabi SAW[2]. As-Sunah atau dalam istilah lain Hadis Nabi, secara istilah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan. Adapun arti kehujahan Sunah di sini adalah: kewajiban bagi kita untuk beramal sesuai dengan As-Sunah dan menjadikannya sebagai dalil untuk menggali hukum syari’. Alasan mengapa Hadits di jadikan sumber hukum islam As-Sunah sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran, tidak diragukan pengaruhnya di dalam dunia fiqih Islam, terutama  pada masa para imam mujtahid dengan berdirinya mazhab-mazhab ijtihad. Sebagai masa  kejayaan kajian ilmu hukum Islam di dalam dunia sejarah. Hal semacam ini tidak pernah terjadi pada umat agama lain, baik di zaman dahulu atau sekarang. Setiap orang yang mendalami mazhab-mazhab fiqih, maka akan mengetahui betapa besar pengaruh As-Sunah di dalam penetapan hukum-hukum fiqih. As-Sunah atau dalam istilah lain Hadis Nabi, secara terminologi adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan. Adapun arti kehujahan Sunah di sini adalah: kewajiban bagi kita untuk beramal sesuai dengan As-Sunah dan menjadikannya sebagai dalil untuk menggali hukum syari’. Hadis Nabi, walaupun dapat menjadi hujah secara independen (mustaqil), sebagaimana juga Al-Quran, namun kedua kitab tersebut saling melengkapi dan melegitimasi bahwa keduanya adalah hujah dan sumber hukum di dalam syari’at Islam. Nabi Muhammad menjadi sosok yang paling sentral bagi umat Islam karena umat Islam meyakini bahwa segala perbuatan Rasulullah tidak sedikit pun yang bertentangan dengan Al quran dan beliau terbebas dari kesalahan.
            Sebagai sumber hukum kedua setelah Al-qur’an, Fungsi Hadist adalah:
a.    Menetapkan dan memperkuat hukum yang telah ditetapkan Al-qur’an.
b.    Penjelasan terhadap ayat-ayat Al-qur’an.
c.    Menetapkan hukum yang tidak ada penjelasannya dalam Al-qur’an.

3.        Ijtihad
Pengertian ijtihad secara bahasa atau pengertian menurut bahasa, ijtihad artinya, bersungguh-sungguh menggunakan tenaga dan pikiran. Sedangkan dalam pengertian secara istilah, ijtihad ialah, menggunakan pikiran untuk menetapkan hukum atas sesuatu perkara yang dalam al Qur’an dan Sunnah Rasulullah belum dinyatakan hukumnya. Akan tetapi, pengertian tersebut sama sekali tidak berarti bahwa dalam Al Qur’an dan Sunnah terdapat kekurangan, hanya saja manakala beberapa masalah tidak ditetapkan hukumnya. Menurut pengertian kebahasaan kata Ijtihad berasal dari bahasa Arab, yang kata kerjanya “jahada”, yang artinya berusaha dengan sungguh-sungguh. Menurut istilah dalam ilmu fikih, ijtihad berarti mengerahkan tenaga dan pikiran dengan sungguh-sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan hukum-hukum yang terkandung du dalam al Qur’an dan Hadis dengan syarat-syarat tertentu.
Ijtihad menempati kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al Qur’an dan Hadis. Allah SWT berfirman:
“Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.”

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari Baitullah, apabila hendak mengerjakan sholat ia dapat mencari dan menentukan arah kiblat saat itu melalui ijtihad dengan mencurahkan pikirannya berdasarkan tanda-tanda yang ada.


4.        Ijma' Ulama
Ijma' ulama adalah kesepakatan para ulama yang mengambil simpulan berdasarkan dalil-dalil Al quran atau hadist. Para ulama mengambil ijma' karena dalam Al quran ataupun hadist tidak dijelaskan secara teperinci sebuah ketetapan yang terjadi pada masa itu atau kini. Dengan demikian, para ulama mengadakan rapat dan membuat kesepakatan sehingga hasil rapat atau kesepakatan tersebut menjadi ketetapan hukum. Ijma ulama tidak boleh bertentangn dengan al-Qur'an ataupun hadist. Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan أجمع فلان على الأمر berarti berupaya di atasnya. Sebagaimana firman Allah Swt:
“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu. (Qs.10:71)
Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang.
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara. Jika menurut prinsip dari pendirian golongan syi’ah, memang ijma’ dan qiyas itu tidak dapat digunakan sebagai landasan Hukum. Akan tetapi bagi madzhab Syafi’i dan juga madzhab mu’tabar yang lain, menggunakan ijma’ dan qiyas sebagai landasan hukum itu, tidak menyimpang dari Al-Qur’an dan Hadits, sebab Al-Qur’an dan Hadits sendiri juga memerintahkan supaya kita menggunakan Ijma’ dan Qiyas. Dari Ali ra. menceritakan, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW., “Wahai Rasulullah, jika kami menjumpai suatu urusan yang belum jelas mengenainya apakah diperintah atau dilarang, apa yang engkau perintahkan kepada kami?”
Nabi SAW. bersabda :
”Musyawarahkanlah urusan itu dengan fuqaha (orang-orang yang mendalam agamanya) dan para ‘abidin (orang-orang yang kuat ibadahnya/orang-orang shalih), dan janganlah kalianmemutuskan urusan itu dengan hanya mengikuti pendapat tertentu.”


5.        Qiyas
Qiyas berarti menjelaskan sesuatu yang tidak ada dalil nashnya dalam Al quran ataupun hadist dengan cara membandingkan sesuatu yang serupa dengan sesuatu yang hendak diketahui hukumnya tersebut. Misalnya, dalam Al quran dijelaskan bahwa segala sesuatu yang memabukkan adalah haram hukumnya.
Al Quran tidak menjelaskan bahwa arak haram, sedangkan arak adalah sesuatu yang memabukkan. Dengan demikian, kita akan mengambil qiyas bahwa arak haram hukumnya karena memabukkan. Itulah sumber-sumber utama yang menjadi landasan untuk menetapkan hukum Islam. Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.
Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.5:90)


Tujuan Hukum Islam

Tujuan hukum Islam adalah setiap tingkah dan perilaku manusia dalam menerapkan hidup dengan mentaati serta tidak bertindak sesuai yang telah menjadi hukumNya. Dalam FirmanNya Allah tegas memberikan segala ciptaannya pada manusia itu tidaklah sia-sia. Surat Al-Mu’minun ayat 115.
Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami? (QS Al-Mu’minun ayat 115).
Kata hukum islam adalah kata yang sepadan dengan “Syariah” yang kemudian disambung dengan kata islam dan menjadi Syariah Islam. Syariah islam secara garis besar mencakup 3 hal. Yakni:
1.      Ahkam Syar’iyyah I’tiqadiyah : hukum-hukum yang berkenaan dengan ‘aqidah atau keimanan.
2.      Ahkam Syar’iyyah Khuluqiyah : Hukum-hukum yang berkenaan dengan akhlak.
3.      Ahkam Syar’iyyah Amaliyah : Hukum-Hukum yang berkenaan dengan pelaksanaan (amaliyah) syariah dalam pengertian khusus.

Keberadaan hukum tidak dapat terlepas dengan tujuan dan harapan manusia sebagai pelaku atau subjek hukum, dan harapan manusia sebagai pelaku hukum disini dapat kita kategorikan sebagai tujuan khusus diantaranya:
1.      Kemashlahatan hidup bagi diri dan orang lain
2.      Tegaknya Keadilan
3.      Persamaan hak dan kewajiban dalam hukum
4.      Saling control di dalam kehidupan bermasyarakat
5.      Kebebasan berekspresi, berpendapat, bertindak dengan tidak melebihi batas-batas hukum dan norma sosial
6.      Regenerasi sosial yang positif dan bertanggung jawab

Asy Syatibi mengatakan bahwa tujuan syariat hukum Islam adalah mencapai kemashlahatan hambanya, baik di dunia maupun diakhirat. Kemashlahatan tersebut didasarkan kepada 5 hal mendasar, diantaranya: 
1.      Memelihara Agama
Pemeliharan agama merupakan tujuan pertama hukum Islam. Sebabnya adalah karena agama merupakan pedoman hidup manusia, dan didalam Agama Islam selain komponen-komponen akidah yang merupakan sikap hidup seorang muslim, terdapat juga syariat yang merupakan sikap hidup seorang muslim baik dalam berrhubungan dengan Tuhannya maupun dalam berhubungan dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Karena itulah maka hukum Islam wajib melindungi agama yang dianut oleh seseorang dan menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beribadah menurut keyakinannya. Hal ini didasarkan dengan Firman Allah Surat Asy-Syura’ ayat 13 :
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).

Memelihara jiwa
Untuk tujuan ini, Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman Qisas (pembalasan yang setimbang), sehingga dengan demikian diharapkan agar orang sebelum melakukan pembunuhan, berpikir panjang karena apabila orang yang dibunuh itu mati, maka si pembunuh juga akan mati atau jika orang yang dibunih itu tidak mati tetap hanya cedera, maka si pelakunya juga akan cedera. Allah telah berfirman didalam surat Al Baqarah 178-179 :
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.

Memelihara akal
Manusia adalah makhluk Allah Swt. Ada dua hal yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Pertama, Allah Swt telah menjadikan manusia dalam bentuk yang paling baik, di bandingkan dengan bentuk makhluk-makhluk lain dari berbagai makhluk lain. Allah menjelaskan ini melalui surat Al Maidah ayat 90-91 :
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
                                                               
 Memelihara Keturunan
Untuk ini islam mengatur pernikahan dan mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, bagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan pencampuran antara dua manusia yang belainan jenis itu tidak dianggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya. Malahan tidak melarang itu saja, tetapi juga melarang hal-hal yang dapat membawa kepada zina. Firman Allah surat An Nisa ayat 3 dan 4 :
dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Memilihara Harta Benda dan Kehormatan
Meskipun pada hakekatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia itu manusia snagt tamak kepada harta benda, sehingga mau mengusahakannya dengan jalan apapun, maka Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk ini Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai muamalah seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai menggadai, dan sebagainya, serta melarang penipuan, riba dan mewajibkan kepada orang yang merusak barang orang lain untuk membayarnya, harta yang dirusak oleh anak-anak yang dibawah tanggungannya, bahkan yang dirusak oleh binatang peliharaannya sekalipun. Allah berfirman dalam Al Quran surat Al Baqarah 188: 
dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar